Thursday, December 5, 2013

Keputusan Dan Pengambilan Keputusan

KEPUTUSAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

A.      Definisi  Keputusan dan Pengambilan Keputusan
            Menurut Stoner (1996 : 5)  Keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapinya dengan tegas. Hal itu berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai ‘apa yang harus dilakukan’ dan seterusnya mengenai unsur-unsur perencanaan. Dapat juga dikatakan bahwa keputusan itu sesungguhnya merupakan hasil proses pemikiran yang berupa pemilihan satu diantara beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
            Keputusan itu sendiri merupakan unsur kegiatan yang sangat vital. Jiwa kepemimpinan seseorang itu dapat diketahui dari kemampuan mengatasi masalah dan mengambil keputusan yang tepat. Keputusan yang tepat adalah keputusan yang berbobot dan dapat diterima bawahan. Ini biasanya merupakan keseimbangan antara disiplin yang harus ditegakkan dan sikap manusiawi terhadap bawahan. Keputusan yang demikian ini juga dinamakan keputusan yang mendasarkan diri pada human relations.
            Setelah pengertian keputusan disampaikan, kiranya perlu pula diikuti dengan  pengertian tentang “pengambilan keputusan”. Ada beberapa definisi tentang pengambilan keputusan, dalam hal ini arti pengambilan keputusan sama dengan pembuatan keputusan.
Menurut Dee Ann Gullies dalam Azhar (1996 : 34) Pengambilan keputusan sebagai suatu proses kognitif yang tidak tergesa-gesa terdiri dari rangkaian tahapan yang dapat dianalisa, diperhalus, dan dipadukan untuk menghasilkan ketepatan serta ketelitian yang lebih besar dalam menyelesaikan masalah dan memulai tindakan.
Menurut Handoko (1999 : 2) definisi pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih ( tindakan pimpinan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam organisasi yang dipimpinnya dengan melalui pemilihan satu diantara alternatif-alternatif yang dimungkinkan).
            Menurut Siagian (1992 : 42) Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan terhadap hakikat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan pengambilan tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat.
            Dari kedua pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keputusan itu diambil dengan sengaja, tidak secara kebetulan, dan tidak boleh sembarangan. Masalahnya telebih dahulu harus diketahui dan dirumuskan dengan jelas, sedangkan pengambilan keputusan harus didasarkan pemilihan alternatif terbaik dari alternatif yang ada.

B.     Tujuan Pengambilan Keputusan
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam organisasi itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan organisasinya yang dimana diinginkan semua kegiatan itu dapat berjalan lancer dan tujuan dapat dicapai dengan mudah dan efisien. Namun, kerap kali terjadi hambatan-hambatan dalam melaksanakan kegiatan. Ini merupakan masalah yang hatus dipecahkan oleh pimpinan organisasi. Pengambilan keputusan dimaksudkan untuk memecahkan masalah tersebut.
Menurut Syamsi (2007 : 54) tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan atas dua yaitu :
1.      Tujuan bersifat tunggal yaitu tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah artinya sekali diputuskan dan tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain.
2.      Tujuan bersifat ganda yaitu tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan itu menyangkut lebih dari satu masalah, artinya bahwa satu keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua masalah atau lebih yang bersifat kontradiktif atau bersifat tidak kontradiktif

C.     Dasar Pengambilan Keputusan
1.      Pengambilan Keputusan Berdasarkan Intuisi
            Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi atau perasaan lebih bersifat subjektif yaitu mudah terkena sugesti, pengaruh luar, dan faktor kejiwaan lain. Sifat subjektif dari keputusuan intuitif ini terdapat beberapa keuntungan, yaitu :
a.       Pengambilan keputusan oleh satu pihak sehingga mudah untuk memutuskan.
b.      Keputusan intuitif lebih tepat untuk masalah-masalah yang bersifat kemanusiaan.
            Pengambilan keputusan yang berdasarkan intuisi membutuhkan waktu yang singkat Untuk masalah-masalah yang dampaknya terbatas, pada umumnya pengambilan keputusan yang bersifat intuitif akan memberikan kepuasan. Akan tetapi, pengambilan keputusan ini sulit diukur kebenarannya karena kesulitan mencari pembandingnya dengan kata lain hal ini diakibatkan pengambilan keputusan intuitif hanya diambil oleh satu pihak saja sehingga hal-hal yang lain sering diabaikan.

2.  Pengambilan Keputusan Rasional
            Keputusan yang bersifat rasional  berkaitan dengan daya guna. Masalah – masalah yang dihadapi merupakan masalah yang memerlukan pemecahan rasional. Keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan rasional lebih bersifat objektif. Dalam masyarakat, keputusan yang rasional dapat diukur apabila kepuasan optimal masyarakat dapat terlaksana dalam batas-batas nilai masyarakat yang di akui saat itu.

3.   Pengambilan Keputusan Berdasarkan Fakta
            Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya pengambilan keputusan didukung oleh sejumlah fakta yang memadai. Sebenarnya istilah fakta perlu dikaitkan dengan istilah data dan informasi. Kumpulan fakta yang telah dikelompokkan secara sistematis dinamakan data. Sedangkan informasi adalah hasil pengolahan dari data. Dengan demikinan, data harus diolah lebih dulu menjadi informasi yang kemudian dijadikan dasar pengambilan keputusan.
            Keputusan yang berdasarkan sejumlah fakta, data atau informasi yang cukup itu memang merupakan keputusan yang baik dan solid, namun untuk mendapatkan informasi yang cukup itu sangat sulit.

4.   Pengambilan Keputusan Berdasarkan Pengalaman
            Sering kali terjadi bahwa sebelum mengambil keputusan, pimpinan mengingat-ingat apakah kasus seperti ini sebelumnya pernah terjadi. Pengingatan semacam itu biasanya ditelusuri melalui arsip-arsip penhambilan keputusan yang berupa dokumentasi pengalaman-pengalaman masa lampau. Jika ternyata permasalahan tersebut pernah terjadi sebelumnya, maka pimpinan tinggal melihat apakah permasalahan tersebut sama atau tidak dengan situasi dan kondisi saat ini. Jika masih sama kemudian dapat menerapkan cara yang sebelumnya itu untuk mengatasi masalah yang timbul.
            Dalam hal tersebut, pengalaman memang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah. Keputusan yang berdasarkan pengalaman sangat bermanfaat bagi pengetahuan praktis. Pengalaman dan kemampuan untuk memperkirakan apa yang menjadi latar belakang masalah dan bagaimana arah penyelesaiannya sangat membantu dalam memudahkan pemecaha masalah.

5.  Pengambilan Keputusan Berdasarkan Wewenang
            Banyak sekali keputusan yang diambil karena wewenang (authority) yang dimiliki. Setiap orang yang menjadi pimpinan organisasi mempunyai tugas dan wewenang untuk mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan demi tercapainya tujuan organisasi yang efektif dan efisien.
            Keputusan yang berdasarkan wewenang memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain : banyak diterimanya oleh bawahan, memiliki otentisitas (otentik), dan juga karena didasari wewenang yang resmi maka akan lebih permanent sifatnya.
Keputusan yang berdasarkan pada wewenang semata maka akan menimbulkan sifat rutin dan mengasosiasikan dengan praktik dictatorial. Keputusan berdasarkan wewenang kadangkala oleh pembuat keputusan sering melewati permasahan yang seharusnya dipecahkan justru menjadi kabur atau kurang jelas.

D.     Teori Pengambilan Keputusan
Ada beberapa teori yang paling sering digunakan dalam mengambil kebijakan yaitu :
1.   Teori Rasional Komprehensif
Barangkali toari pengambilan keputusan yang biasa digunakan dan diterima oleh banyak kalangan aadalah teori rasional komprehensif yang mempunyai beberapa unsur
a.       Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain (dapat diurutkan menurut prioritas masalah).
b.      Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang menjadi pedoman pembuat keputusan sangat jelas dan dapat diurutkan prioritasnya/kepentingannya.
c.       Bermacam-macam alternatif untuk memecahkan masalah diteliti secara saksama.
d.      Asas biaya manfaat atau sebab-akibat digunakan untuk menentukan prioritas.
e.       Setiap alternatif dan implikasi yang menyertainya dipakai untuk membandingkan dengan alternatif lain.
f.       Pembuat keputusan akan memilih alternatif terbaik untuk mencapai tujuan, nilai, dan sasaran yang ditetapkan
Ada beberapa ahli antara lain Charles Lindblom (Ahli Ekonomi dan Matematika) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan itu sebenarnya tidak berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit akan tetapi mereka seringkali mengambil keputusan yang kurang tepat terhadap akar permasalahan.
Teori rasional komprehensif ini menuntut hal-hal yang tidak rasional dalam diri pengambil keputusan. Asumsinya adalah seorang pengambil keputusan memiliki cukup informasi mengenahi berbagai alternatif sehingga mampu meramalkan secara tepat akibat-akibat dari pilihan alternatif yang ada, serta memperhitungkan asas biaya manfaatnya.dan mempertimbangkan banyak masalah yang saling berkaitan
Pengambil keputusan sering kali memiliki konflik kepentingan antara nilai-nilai sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Karena teori ini mengasumsikan bahwa fakta-2 dan nilai-nilai yang ada dapat dibedakan dengan mudah, akan tetapi kenyataannya sulit membedakan antara fakta dilapangan dengan nilai-nilai yang ada.
Ada beberapa masalah diperbagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menerapkan teori rasional komprehensif ini karena beberapa alasan yaitu
1.      Informasi dan data statistik yang ada tidak lengkap sehingga tidak bisa dipakai untuk dasar pengambilan keputusan. Kalau dipaksakan maka akan terjadi sebuah keputusan yang kurang tepat.
2.      Teori ini diambil/diteliti dengan latar belakang berbeda dengan nagara berkembang ekologi budanyanya berbeda.
3.      Birokrasi dinegara berkembang tidak bisa mendukung unsur-unsur rasional dalam pengambilan keputusan, karena dalam birokrasi negara berkembang kebanyakan korup sehingga menciptakan hal-hal yang tidak rasional.

2.   Teori Inkremental
Teori ini dalam mengambil keputusan dengan cara menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan merupakan madel yang sering ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambail keputusan. Teori ini memiliki pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
a.       Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapanya merupakan hal yang saling terkait.
b.      Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah, dan alternatif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marjinal.
c.       Setiap alternatif hanya sebagian kecil saja yang dievaluasi mengenahi sebab dan akibatnya.
d.      Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan di redifinisikan secara teratur dan memberikan kemungkinan untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana sehingga dampak dari masalah lebih dapat ditanggulangi.
e.       Tidak ada keputusan atau cara pemecahan masalah yang tepat bagi setiap masalah. Sehingga keputusan yang baik terletak pada berbagai analisis yang mendasari kesepakatan guna mengambil keputusan.
f.       Pembuatan keputusan inkremental ini sifatnya dalah memperbaiki atau melengkapi keputusan yang telah dibuat sebelumnya guna mendapatkan penyempurnaan.
Karena diambil berdasarkan berbagai analisis maka sangat tepat diterapkan bagi negara-negara yang memiliki struktur mejemuk. Keputusan dan kebijakan diambil dengan dasar saling percaya diantara berbagai pihak sehingga secara politis lebih aman. Kondisi yang realistik diberbagi negara bahwa dalam menagmbil keputusan/kebijakan para pengambil keputusan dihadapkan pada situasi kurang baik seperti kurang cukup waktu, kurang pengalaman, dan kurangnya sumber-sumber lain yang dipakai untuk analsis secara komprehensif.
Teori ini dapat dikatakan sebagai model pengambilan keputusan yang membuahkan hasil terbatas, praktis dan dapat diterima.
Ada beberapa kelemahan dalam teori inkremental ini
-          Keputusan–keputusan yang diambil akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan dari kelompok yang kuat dan mapan sehingga kepentingan kelompok lemah terabaikan.
-          Keputusan diambil lebih ditekankan kepada keputusan jangka pendek dan tidak memperhatikan berbagai macam kebijakan lain.
-          Dinegara berkembang teori ini tidak cocok karena perubahan yang inkremental tidak tepat karena negara berkembang lebih membutuhkan perubahan yang besar dan mendasar.
-           
3.   Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scaning Theory)
Beberapa kelemahan tersebut menjadi dasar konsep baru yaitu seperti yang dikemukakan oleh ahli sosiologi organisasi Aitai Etzioni yaitu pengamatan terpadu (Mixid Scaning) sebagai suatu pendektan untuk mengambil keputusan baik yang bersifat fundamental maupun inkremental. Keputusan-keputusan inkremental memberikan arahan dasar dan melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan fundamental sesudah keputusan-keputusan itu tercapai.
Model pengamatan terpadu memungkinkan para pembuat keputusan menggunakan teori rasional komprehensif dan teori inkremental pada situasi yang berbeda-beda. Model pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan model inkremental dalam proses pengambilan keputusan.

E.     Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam Pengambilan Keputusan
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan menurut Syamsi (2007 : 70)  yaitu :
1.      Hal-hal yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang emosional maupun yang rasional perlu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.
2.      Setiap keputusan harus dapat dijadikan bahan untuk mencapai tujuan organisasi.
3.      Setiap keputusan jangan berorientasi pada kepentingan pribadi, tetapi harus lebih mementingkan kepentingan organisasi.
4.      Jarang sekali pilihan yang memuaskan, oleh karena itu buatlah altenatif-alternatif tandingan.
5.      Pengambilan keputusan merupakan tindakan mental dari tindakan ini harus diubah menjadi tindakan fisik.
6.      Pengambilan keputusan yang efektif membutuhkan waktu yang cukup lama.
7.      Diperlukan pengambilan keputusan yang praktis untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
8.      Setiap keputusan hendaknya dilembagakan agar diketahui keputusan itu benar.
9.      Setiap keputusan merupakan tindakan permulaan dari serangkaian kegiatan mata rantai berikutnya.


F.  Jenis – jenis Pengambila Keputusan
1.   Keputusan Individual dan Kelompok
Pengambilan keputusan dapat dilakukan secara individual atau kelompok, tergantung bagaimana sifat dan corak permasalahannya. Keputusan individual dibuat oleh seorang pemimpin sendirian, sedangkan keputusan kelompok dibuat sekelompok orang.
Keputusan kelompok dibedakan dalam :
a.       Sekelompok pimpinan
b.      Sekelompok orang-orang bersama pimpinannya.
c.       Sekelompok orang yang mempunyai kedudukan sama dan keputusan    kelompok
1).  Keputusan yang dibuat oleh seseorang
Kebaikannya antara lain :
-          Keputusannya cepat ditentukan atau diambil, karena tidak usah menunggu persetujuan dari rekan lainnya.
-          Tidak akan terjadi pertentangan pendapat
-          Kalau pimpinan ya ng mengambil keputusan itu  mempunyai kemampuan yang tinggi dan berpengalaman yang luas dalam bidang yang akan diputuskan, keputusannya besar kemungkinan tepat.
Kelemahannya antara lain :
-          Bagaimana kepandaian dan kemampuan pimpinan tetapi pasti memiliki keterbatasan.
-          Keputusan yang terlalu cepat diambil dan tidak meminta pendapat orang lain seringkali kurang tepat.
-          Jika terjadi kesalahan pengambilan keputusan merupakan beban berat bagi pimpinan seorang diri.
2).  Keputusan yang dibuat oleh Sekelompok Orang
Kelebihannya antara lain :
-          Hasil pemikiran beberapa orang akan saling melengkapi.
-          Pertimbangannya akan lebih matang.
-          Jika ada kesalahan pada pengambilan keputusan tersebut, beban ditanggung secara bersama.
Kelemahannya antara lain :
-          Ada kemingkinan terjadi perbedaan pendapat.
-          Biasanya memakan waktu lama dan berlarut-larut karena terjadi perdebatan-perdebatan.
-          Rasa tanggung jawab masing-masing berkurang, dan ada kemungkinan saling melemparkan tanggung jawab jika terjadi kesalahan.
Mengenai pembuatan keputusan individual dan kelompok Siagian (1995 : 102)  menyatakan bahwa ada tiga kekuatan yang selalu mempengaruhui suatu keputusan yang dibuat. Tiga kekuatan itu :
a.       Dinamika individu di dalam organisasi
Pengaruh individu dalam organisasi sangat terasa terutama dalam hal ini adalah
pemimpinnya. Seorang pemimpin yang mempunyai kepribadian yang kuat, pendidikan yang tinggi, pengalaman ynag banyak akan memberi kesan dan pengaruh yang besar terhadap bawahannya
b.      Dinamika kelompok orang-orang di dalam organisasi
Dinamika kelompok mempunyai pengaruh besar, oleh karena itu pemimpin hendaknya mengusahakan agar kelompok lebih cepat menjadi dewasa.
c.       Dinamika lingkungan organisasi
Pengaruh lingkungan juga memegang peranan yang cukup penting untuk diperhatikan. Antara organisasi dan lingkungan itu saling mempemgaruhi.

G.   Proses Pengambilan Keputusan
Setiap keputusan yang diambil itu merupakan perwujudan kebijakan yang telah digariskan. Oleh karena itu, analisis proses pengambilan keputusan pada hakikatnya sama saja dengan analisis proses kebijakan.
Proses pengambilan keputusan meliputi :
1.      Identifikasi masalah
Dalam hal ini pemimpin diharapkan mampu mengindentifikasikan masalah yang ada di dalam suatu organisasi.
2.      Pengumpulan dan penganalisis data
Pemimpin diharapkan dapat mengumpulkan dan menganalisis data yang dapat membantu memecahkan masalah yang ada.
3.      Pembuatan alternatif-alternatif kebijakan
Setelah masalah dirinci dengan tepat dan tersusun baik, maka perlu dipikirkan cara-cara pemecahannya. Cara pemecahan ini hendaknya selalu diusahakan adanya alternatif-alternatif beserta konsekuensinya, baik positif maupun negatif. Oleh sebab itu, seorang pimpinan harus dapat mengadakan perkiraan sebaik-baiknya. Untuk mengadakan perkiraan dibutuhkan adanya informasi yang secukupnya dan metode perkiraan yang baik. Perkiraan itu terdiri dari berbagai macam pengertian:
·         Perkiraan dalam arti Proyeksi
Perkiraan yang mengarah pada kecenderungan dari data yang telah terkumpul dan tersusun secara kronologis.
·         Perkiraan dalam arti prediksi
Perkiraan yang dilakukan dengan menggunakan analisis sebab akibat.
·         Perkiraan dalam arti konjeksi
Perkiraan yang didasarkan pada kekuatan intuisi (perasaan). Intuisi disini sifatnya subjektif, artinya tergantung dari kemampuan seseorang untuk mengolah perasaan.
4.      Pemilihan salah satu alternatif terbaik
Pemilihan satu alternatif yang dianggap paling tepat untuk memecahkan masalah tertentu dilakukan atas dasar pertimbangan yang matang atau rekomendasi. Dalam pemilihan satu alternatif dibutuhkan waktu yang lama karena hal ini menentukan alternative yang dipakai akan berhasil atau sebaliknya.
5.      Pelaksanaan keputusan
Dalam pelaksanaan keputusan berarti seorang pemimpin harus mampu menerima dampak yang positif atau negatif. Ketika menerima dampak yang negatif, pemimpin harus juga mempunyai alternatif yang lain.
6.      Pemantauan dan pengevaluasian hasil pelaksanaan
Setelah keputusan dijalankan seharusnya pimpinan dapat mengukur dampak dari keputusan yang telah dibuat.

H.        Daftar Pustaka

Handoko, (1999) Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Yogyakarta : BPFE
Kasim, Azhar. (1995). Teori Pembuatan Keputusan. Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI.

Sondang P.Siagian. (1992) Organisasi Kepemimpinan dan perilaku Administrasi, Jakarta:Gunung Agung.

Syamsi, Ibnu. (2007) Pengambilan Keputusan (Decision Making). Jakarta : Bina Aksara.

Stoner, James. A.V. (1996) Manajemen (Terjemahan). Jakarta : Erlangga.
Terry D. Warfield, dkk (2002). Akuntansi Intermediate, Buku Satu, Edisi Kesepuluh, Alih Bahasa oleh Herman Wibowo dan Ancella A. Hermawan, Jakarta : Erlangga.




Hubungan Profesional Guru Dengan Prestasi Belajar

A. Pengertian Profesionalisme Guru
Istilah profesionalisme berasal dari profession. Dalam Kamus Inggris Indonesia, .”profession berarti pekerjaan.”[1] Arifin dalam buku Kapita Selekta Pendidikan mengemukakan bahwa “profession mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.” [2]
Dalam buku yang ditulis oleh Kunandar yang berjudul Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disebutkan pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, “profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu.” [3]
Menurut Martinis Yamin “profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas.” [4] Jasin Muhammad yang dikutip oleh Yunus Namsa, beliu menjelaskan bahwa profesi adalah .suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yng berorientasi pada pelayanan yang ahli.. “Pengertian profesi ini tersirat makna bahwa di dalam suatu pekerjaan profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang mengacu pada pelayanan yang ahli.” [5]
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan kompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperolah melalui proses pendidikan secara akademis. Dengan demikian, Kunandar mengemukakan profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. “Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna.” [6]
Adapun mengenai kata .Profesional., Uzer Usman memberikan suatu kesimpulan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat professional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata .prifesional itu sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.
Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian “guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal. [7]
H.A.R. Tilaar menjelaskan pula bahwa seorang professional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme. Seorang profesional akan terus-menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan. [8]

Adapun mengenai pengertian “profesionalisme itu sendiri adalah, suatu pandangan bahwa suatu keahlian tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.” [9]
 Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. “Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.” [10]
 Sedangkan Oemar Hamalik mengemukakan bahwa “guru profesional merupakan orang yang telah menempuh program pendidikan guru dan memiliki tingkat master serta telah mendapat ijazah negara dan telah berpengalaman dalam mengajar pada kelas-kelas besar. [11]
Dalam pembahasan profesionalisme guru ini, selain membahas mengenai pengertian profesionalisme guru, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan mengenai kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yang profesional. Karena seorang guru yang profesional tentunya harus memiliki kompetensi profesional. Dalam buku yang ditulis oleh E. Mulyasa, Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru itu mencakup empat aspek sebagai berikut:

a. Kompetensi Pedagogik.
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir  a. dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemapuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. [12]

b. Kompetensi Kepribadian.
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir b, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. [13]
c. Kompetensi Profesioanal.
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing pesrta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.[14]

d. Kompetensi Sosial.
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir d dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserte didik, dan masyarakat sekitar. [15]

Alisuf Sabri dalam jurnal Mimbar Agama dan Budaya mengutip pernyataan Mitzel yang mengemukakan bahwa seorang guru dikatakan efektif dalam mengajar apabila ia memiliki potensi atau kemampuan untuk mendatangkan hasil belajar pada murid-muridnya. Untuk mengatur efektif tidaknya seorang guru, Mitzel menganjurkan cara penilaian dengan 3 kriteria, yaitu: presage, process dan product. Dengan demikian seorang guru dapat dikatakan sebagai guru yang effektif apabila ia dari segi: presage, ia memiliki .personality attributes. dan .teacher knowledge yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan mengajar yang mampu mendatangkan hasil belajar kepada murid. Dari segi process, ia mampu menjalankan (mengelola dan melaksanakan) kegiatan belajar-mengajar yang dapat mendatangkan hasil belajar kepada murid. Dari segi product ia dapat mendatangkan hasil belajar yang dikehendaki oleh masing-masing muridnya.
Dengan penjelasan di atas berarti latar belakang pendidikan atau ijazah sekolah guru yang dijadikan standar unsur presage, sedangkan ijazah selain pendidikan guru berarti nilainya di bawah standar. Berdasarkan pemahaman dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mutu guru dapat diramalkan dengan tiga kriteria yaitu: presage, process dan product yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Kriteria presage (tanda-tanda kemampuan profesi keguruan) yang terdiri dari  unsur sebagai berikut:
a. Latar belakang pre-service dan in-service guru.
b. Pengalaman mengajar guru.
c. Penguasaan pengetahuan keguruan.
d. Pengabdian guru dalam mengajar.
2. Kriteria process (kemampuan guru dalam mengelola dan melaksanakan proses belajar mengajar) terdiri dari:
a. Kemampuan guru dalam merumuskan Rancangan Proses Pembelajaran (RPP).
b.  Kemampuan guru dalam melaksanakan (praktik) mengajar di dalam kelas.
c.  Kemampuan guru dalam mengelola kelas.
3.  Kriteria product (hasil belajar yang dicapai murid-murid) yang terdiri dari hasil-hasil belajar murid dari bidang studi yang diajarkan oleh guru tersebut.
Dalam prakteknya meramalkan mutu seorang guru di sekolah atau di madrasah tentunya harus didasarkan kepada effektifitas mengajar guru tersebut sesuai dengan tuntutan kurikulum sekarang yang berlaku, dimana guru dituntut kemampuannya untuk merumuskan dan mengintegrasikan tujuan, bahan, metode, media dan evaluasi pengajaran secara tepat dalam mendisain dan mengelola proses belajar mengajar, disamping itu guru juga harus mampu melaksanakan atau membimbing terjadinya kualitas proses belajar yang akan dialami oleh murid-muridnya. [16]

Kemudian dalam buku yang ditulis oleh Martinis Yamin, secara konseptual, unjuk kerja guru menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Johnson mencakup tiga aspek, yaitu; (a) kemampuan profesional, (b) kemampuan sosial, dan (c) kemampuan personal (pribadi). Kemudian ketiga aspek ini dijabarkan menjadi:
a.  Kemampuan profesional mencakup:
1)   Penguasaan  materi  pelajaran  yang  terdir i atas   penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan dari bahan yang diajarkannya itu.
2) Penguasaan  dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan.
3) Penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.
b. Kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawa tugasnya sebagai guru.
c.  Kemampuan personal (pribadi) mencakup:
1)  Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya.
2)  Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai seyogianya dianut  oleh seseorang guru.
3)  Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya. [17]

Dalam lokakarya kurikulum pendidikan guru yang diselenggarakan oleh Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G), telah dirumuskan sejumlah kemampuan dasar seorang calon guru lulusan sistem multistrata sebagai berikut:
a.  Menguasai bahan yakni menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum-kurikulum sekolah, menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
b. Mengelola  program  belajar mengajar  yakni  merumuskan tujuan instruksional, mengenal dan bisa memakai metode mengajar, memilih materi dan prosedur instruksional yang tepat, melaksanakan program belajar dan mengajar, mengenal kemampuan anak didik, menyesuaikan rencana dengan situasi kelas, melaksanakan dan merencanakan pengajaran remedial, serta mengevaluasi hasil belajar.
c. Mengelola kelas yakni mengatur tata ruang kelas dalam proes belajar mengajar dan menciptakan iklim belajar yang efektif.
d. Menggunakan media yakni memilih dan menggunakan media, mebuat alat-alat bantu pelajaran sederhana, menggunakan dan mengelola laboratorium, mengembangkan laboratorium, serta menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar.
e.  Menguasai landasan-landasan kependidikan.
f.  Merencanakan program pengajaran.
g.  Mengelola interaksi belajar mengajar.
h.  Menguasai macam-macam metode mengajar.
i.   Menilai kemampuan prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran.
j.  Mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan di    sekolah.
k.   Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah.
l. Mampu memahami dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan yang sederhana guna kemajuan pengajaran. [18]

Kemudian dalam PP No. 19 Tahun. 2005 (Pasal 28) menegaskan mengenai Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan sebagai berikut:
a.  Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memilki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b.  Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c.  Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
1)  Kompetensi pedagogik;
2)  Kompetensi kepribadian;
3)  Kompetensi profesional; dan
4)  Kompetensi sosial.
d.  Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat dianggap menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan.
e. Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BNSP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. [19]

Dalam PERMENDIKNAS RI No. 16 Tahun. 2007 (Pasal 1 dan 2) mengenai Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru dijelaskan pula bahwa:
Pasal 1
a. Setiap guru wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara nasional.
b. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri  ini.

Pasal 2
Ketentuan mengenai guru dalam jabatan yang belum memenuhi kualifikasi akademik diploma (D-IV) atau Sarjana (S1) akan diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri. [20]

Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas mengenai aspekaspek kompetensi guru profesional, untuk memudahkan penulis dalam melakukan penelitian, maka indikator yang akan diteliti dalam skripsi ini  akan merujuk kepada pendapat yang ditulis oleh Nana Sudjana dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar.
Menurut Nana Sudjana, untuk keperluan analisis tugas guru sebagai pengajar, maka kemampuan guru atau kompetensi guru yang banyak hubungannya dengan usaha meningkatkan proses dan hasil belajar dapat diguguskan ke dalam empat kemampuan yakni:

a.       Merencanakan program belajar mengajar.
Sebelum membuat perencanaan belajar mengajar, guru terlebih dahulu harus mengetahui arti dan tujuan perencanaan tersebut, dan menguasai secara teoritis dan praktis unsur-unsur yang terdapat dalam perencanaan belajar mengajar. Kemampuan merencanakan program belajar mengajar merupakan muara dari segala pengetahuan teori, keterampilan dasar, dan pemahaman yang mendalam tentang objek belajar dan situasi pengajaran. Makna atau arti dari perencanaan/program belajar mengajar tidak lain adalah suatu proyeksi/perkiraan guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pengajaran itu berlangsung. “Dalam kegiatan tersebut secara terinci harus jelas ke mana siswa akan dibawa (tujuan), apa yang harus siswa pelajari (isi bahan pelajaran), bagaimana cara siswa mempelajarinya (metode dan teknik) dan bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapainya (penilaian).” [21]

b. Menguasai bahan pelajaran.
Kemampuan menguasai bahan pelajaran sebagai bahan integral dari proses belajar mengajar, jangan dianggap pelengkap bagi profesi guru. Guru yang bertaraf profesional penuh mutlak harus menguasai bahan yang akan diajarkannya. Penguasaan bahan pelajaran ternyata memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa. Nana Sudjana mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Hilda Taba yang menyatakan bahwa keefektifan pengajaran dipengaruhi oleh (a) karakteristik guru dan siswa,  (b) bahan pelajaran, dan (c) aspek lain yang berkenaan dengan sistuasi pelajaran. Jadi terdapat hubungan yang positif antara penguasaan bahan pelajaran oleh guru dengan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Artinya, makin tinggi penguasaan bahan pelajaran oleh guru makain tinggi pula hasil belajar yang dicapai siswa.
c. Melaksanakan dan memimpin/mengelola proses belajar mengajar.
Melaksanakan atau mengelola program belajar mengajar merupakan tahap pelaksanaan program yang telah dibuat. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar kemampuan yang dituntut adalah keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun dalam perencanaan. Guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan mengajar dihentikan, ataukah diubah metodenya, apakah mengulang kembali pelajaran yang lalu, manakala para siswa belum dapat mencapai tujuan pengajaran. Pada tahap ini di samping pengetahuan teori tentang belajar mengajar, tentang pelajar, diperlukan pula kemahiran dan keterampilan teknik mengajar. Misalnya prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode mengajar, keterampilan menilai hasil belajar siswa, keterampilan memilih dan menggunakan strategi atau pendekatan mengajar.

d. Menilai kemajuan proses belajar mengajar.
Setiap guru harus dapat melakukan penilaian tentang kemajuan yang dicapai para siswa, baik secara iluminatif-obsrvatif maupun secara struktural-objektif. Penilaian secara iluminatif-observatif dilakukan dengan pengamatan yang terus menerus tentang perubahan dan kemajuan yang dicapai siswa. Sedangkan penilaian secara “structural objektif berhubungan dengan pemberian skor, angka atau nilai yang biasa dilakukan dalam rangka penilaian hasil belajar siswa.[22]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, profesi adalah suatu jabatan, profesional adalah kemampuan atau keahlian dalam memegang suatu jabatan tertantu, sedangkan profesionalisme adalah jiwa dari suatu profesi dan profesional. Dengan demikian, profesionalisme guru dalam penelitian ini adalah profesionalisme guru dalam bidang studi Fiqih, yaitu seorang guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang studi Fiqih serta telah berpengalaman dalam mengajar Fiqih sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru Fiqih dengan kemampuan yang maksimal serta memiliki kompetensi sesuai dengan kriteria guru profesional, dan profesinya itu telah menjadi sumber mata pencaharian.

B. Pengertian Prestasi Belajar
Kata prestasi belajar terdiri dari dua suku kata, yaitu .prestasi. dan belajar. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan “presatasi
adalah: Hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya).” [23]
Adapun belajar menurut pengertian secara psikologis, adalah merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Menurut Slameto pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai berikut: “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” [24]
M. Ngalim Purwanto dalam bukunya Psikologi Pendidikan, mengemukakan bahwa belajar adalah “tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah atau berpikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.” [25]
Dalam rumusan H. Spears yang dikutip oleh Dewa Ketut Sukardi mengemukakan bahwa “belajar itu mencakup berbagai macam perbuatan mulai dari mengamati, membaca, menurun, mencoba sampai mendengarkan untuk mencapai suatu tujuan.” [26]
Selanjutnya, defini belajar yang diungkapkan oleh Cronbach di dalam bukunya Educational Psychology yang dikutip oleh Sumardi Suryabrata menyatakan bahwa: “belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami; dan dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan pancainderanya.” [27]
Berdasarkan definisi yang dikemukakan beberapa tokoh di atas, maka penulis dapat mengambil suatu kesimpulan, bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang merupakan sebagai akibatdari pengalaman atau latihan. Sedangkan pengertian prestasi belajar sebagaimana yang tercantum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: “penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.” [28]
Prestasi belajar dapat bersifat tetap dalam serjarah kehidupan manusia karena sepanjang kehidupannya selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing. Prestasi belajar dapat memberikan kepuasan kepada orang yang bersangkutan, khususnya orang yang sedang menuntut ilmu di sekolah. Prestasi belajar meliputi segenap ranah kejiwaan yang berubah sebagai akibat dari pengalaman dan proses belajar siswa yang bersangkutan. Prestasi belajar dapat dinilai dengan cara:
a. Penilaian formatif
Penilaian formatif adalah kegiatan penilaian yang bertujuan untuk mencari umpan balik (feedback), yang selanjutnya hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar-mengajar yang sedang atau yang sudah dilaksanakan.
b.      Penilaian Sumatif
“Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilakukan untuk memperoleh data atau informasi sampai dimana penguasaan atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya selama jangka waktu tertentu.”[29]
Prestasi belajar menurut Benyamin Bloom secara garis besar dibagi 3 ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotorik.
a. Ranah kognitif.
Pada ranah ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu :
1). Pengetahuan (knowledge).
2). Pemahaman (comprehension).
3). Penerapan (application).
4). Penguraian (analysis).
5). Pemanduan (syntesis).
6). Penilaian (evaluatif). [30]

Perubahan yang terjadi pada ranah kognitif ini tergantung pada tingkat kedalaman belajar yang dialami oleh siswa. Dengan pengertian bahwa perubahan yang terjadi pada ranah diharapkan seorang siswa mampu melakukan pemecahan terhadap masalah-masalah yang dihadapinya sesuai dengan bidang studi yang dihadapinya.
b. Ranah affektif.
Adapun jenis katagori dalam ranah ini adalah sebagai hasil dari belajar yang mulai dari tingkat dasar sampai yang kompleks, yaitu :
1). Menerima rangsangan (receving).
2). Merespon rangsangan (responding).
3). Menilai sesuatu (valuing).
4). Mengorganisasi nilai (organization).
5). Menginternalisasikan (mewujudkan) nilai-nilai (characteazion by value or value compleks).
“Pada ranah afektif ini harapkan siswa mampu lebih peka terhadap nilai dan etika yang berlaku, dalam bidang ilmunya perubahan yang terjadi cukup mendasar, maka siswa tidak hanya menerimanya dan memperhatikan saja, melainkan mampu melakukan satu sistem nilai yang berlaku dalam bidang ilmunya.” [31]
Pada tipe belajar ini ditampak pada siswa pada berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai dan teman di kelas dan kebiasaan di lingkungan yang baik.
c. Ranah psikomotorik.
Dalam ranah psikomotorik ini erat sekali dengan ketrampilan yang bersifat konkret, walaupun demikian tidak terlepas dari kegiatan belajar yang bersifat konkret, walaupun demikian tidak terlepas dari kegiatan belajar yang bersifat mental (pengetahuan dan sikap). Dalam hal ini belajar merupakan tingkah laku yang nyata dan dapat dialami. Dari araian di atas dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar khususnya pembelajaran fiqh merupakan sebuah proses yang mengakibatkan beberapa perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku seseorang yang sesuai dengan tujuan dalam pembelajaran fiqh. Baik yang meliputi aspek kognitif, affektif dan psikomotorik, maupun aspek-aspek yang lain sehingga perubahan sifat yang terjadi pada masing-masing aspek tersebut tergantung pada tingkat kedalaman belajar.

C. Hubungan Profesionalisme Guru Dengan Prestasi Belajar Siswa
Dari penjelasan diatas, penulis memberikan kesimpulan bahwa yang menjadi alasan adanya hubungan profesionalisme guru dengan prestasi belajar siswa dalam penelitian ini, dapat dilihat dalam dua hal sebagai berikut:
1. Karena keberadaan guru dalam kelas adalah sebagai manajer bidang studi Yaitu, orang yang merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil belajar di sekolah.
2. Karena guru di sekolah bertugas menentukan keberhasilan siswa. Oleh karena itu, apabila siswa belum berhasil, maka guru perlu mengadakan remedial.
Untuk itu, guru yang mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil belajar adalah guru yang profesional.




[1] John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia, Cet. Ke-23 (Jakarta: Gramedia, 1996),  hal. 449

[2] Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Cet. Ke- 3 (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),  hal. 105.

[3] Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, Cet. Ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 45.
[4] Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP, hal. 3.

[5]M.Yunus Namsa, Kiprah Baru Profesi Guru Indonesia Wawasan Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi aksara, 2006) hal. 29.

[6] Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) …, hal. 46.
[7] M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional…, hal. 14-15.

[8] Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, Cet. Ke-1, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 86.
[9] Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Cet. Ke- 3 (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 105
[10] Kunandar, Guru Profesional …, hal. 46-47

[11]Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Cet. Ke-4 (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 27.
[12]E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Cet. Ke-3 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008), hal.75.

[13]E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru…, hal. 117.

[14]E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru…, hal. 135

[15]E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru…, hal. 173
[16]Alisuf Sabri, Mimbar Agama dan Budaya, Cet. Ke-1 (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IAIN, 1992), hal. 16-18.
[17]Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP…, hal. 4-5.
[18]Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi, hal. 44-45.

[20]http://www.setjen.depdiknas.go.id/prodhukum/dokumen/5212007134511Permen_16_2007.pdf./2011/08/04/.
[21]Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. Ke-4, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1998), hal. 19-20.
[22]Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar…,hal. 20-22.
[23]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke- 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 895.
[24]Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengeruhinya, Cet. Ke-4 (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 2.

[25]M Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Cet. Ke- 19, (Bandung: Remaja Rosadakarya, 2003), hal. 85.

[26]Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah, Cet. Ke-1, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), hal.17.

[27]Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Cet. Ke-2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),  hal. 231.

[28]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar ...,hal. 895.
[29]M Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip …,hal. 26.

[30]Nana Sudjana, Penelitian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung:  Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 22-23.

[31]Muhibbin dkk, Strategi Belajar Mengajar, (Surabaya: Citra Media Karya Anak Bangsa, 1996), hal.  71-72.